Minggu, 17 Juli 2011

Tenun Kaya Motif dari Timor

Motif-motif yang melekat pada tenun ikat Nusa Tenggara Timur sarat makna, menggambarkan aktivitas masa lampau sebagai cerita tentang roda kehidupan. Selalu muncul motif buaya, mewakili mitos bahwa Pulau Timor ialah the sleeping crocodile."
ORPA Daepanie, 50,perempuan pene nun asal Kelurahan Karang Siri, Kecamatan Kota So'E, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, tidak ingin lakon kehidupan berlalu begitu saja tanpa terdokumentasi sempurna.

Ia mengumpulkan puluhan perempuan tua dan muda di wilayahnya untuk menekuni tenun dengan nama kelompok Nekmese. Sebab, dari lembaran-lembaran kain itu dia berupaya menceritakan kembali mitos-mitos yang hidup di masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di kabupaten tersebut setidaknya ada 300 motif tenun ikat, masing-masing memiliki cerita tersendiri. Orpa belum lama ini memamerkan empat motif, di antaranya, yang diberi nama motif nunkolo, ki'e, amanatun, dan molo.

Dia bercerita, di hampir seluruh motif tenunan itu selalu muncul bentuk buaya sebagai perwakilan dari mitos penting bahwa Pulau Timor dianggap sebagai pulau buaya yang sedang berbaring atau the sleeping crocodile.

Dikisahkan, di masa lampau pernah ada seorang anak menolong seekor buaya yang tersesat. Buaya itu menemukan jalan kembali ke laut setelah digendong sang anak. Akan tetapi sampai di laut, air laut naik. Karena nyawa anak terancam, buaya mengajaknya naik ke punggung.

Sebelum berpisah buaya berpesan, kelak ia mati akan mengapung di permukaan laut. Sang anak boleh tinggal di punggungnya yang akan ditumbuhi pohon-pohon yang buahnya boleh dimakan. Mitos ini diceritakan secara turuntemurun lewat motif tenun ikat maupun cerita orang tua kepada anak-anak. Di mulai dari membuat benang dari kapas, merekayasa motif, mencelup benang ke dalam zat pewarna yang biasanya dibuat dari bahan-bahan seperti kunyit, akar mengkudu, dan daun pepaya. Untuk menghasilkan warna yang mampu bertahan bertahun-tahun, proses pencelupan benang membutuhkan waktu satu atau dua bulan.

Di masa lalu, penenun bahkan menyiapkan benang selama berbulan-bulan. Cara ini menghasilkan tenun kualitas terbaik yang warnanya tidak pudar selama puluhan tahun. Selembar kain dengan metode buna yang tingkat kerumitannya tinggi diselesaikan selama tiga bulan dan dijual seharga Rp1,2 juta-Rp2 juta, sesuai ukuran.

Tenun yang menggunakan metode sotis diselesaikan dua bulan dan dijual seharga Rp750 ribu-Rp1 juta. Sementara yang dikerjakan secara futus diselesaikan dalam tempo 30 hari dan dijual Rp750 ribu. Pendapatan kelompok ini lumayan menyusul permintaan tenun yang terus meningkat. “Kami pasarkan tenun ikat sampai ke luar negeri,” katanya.

Wisatawan asal Amerika dan Eropa, kata Orpa, memuji kua litas tenun kelompok ini. Bahkan, sejumlah pembeli yang pernah mampir di Nekmese memesan lagi setelah kembali ke negara mereka. Wajib tenun Belakangan, untuk memacu pertumbuhan penenun, pemerintah NTT mewajibkan seluruh pegawai negeri mengenakan pakaian bermotif daerah setiap Kamis dan Jumat. Maka, pegawai wajib membeli tenun langsung ke penenun kemudian menjahitnya menjadi kemeja atau jas. Sebab, memang tujuannya, kain yang dihasilkan penenun lokal bisa terjual.

Gubernur Frans Lebu Raya mengatakan, kebijakan itu bertujuan membantu penenun untuk terus berkembang.
Penenun juga didorong untuk mengikuti berbagai pameran di berbagai kota, bahkan sampai ke Australia lewat Expo Darwin yang digelar setiap Juni.

Orpa pun kini membeli mesin tenun yang bisa menghasilkan lima lembar kain dan puluhan selendang dalam sepekan. Katanya, untuk tetap bisa bersaing di pasar. Dari mesin tersebut, produk yang dihasilkan pun bermacam-macam, antara lain sarung, taplak meja, seprai, tas, dan sarung bantal. Untuk produk jenis ini, harganya lebih murah, yakni mulai Rp50 ribu-Rp500 ribu.

Orpa punya kiat untuk pencinta tenun ATBM saat membedakan produk yang dihasilkan dengan mesin. Caranya cukup sentuh permukaan sarung. Jika terasa licin, itu pertanda produk tersebut ditenun menggunakan mesin. Sebaliknya, jika kasar, itu produk hasil tenunan ATBM. Palce Amalo