Minggu, 17 Juli 2011

Tenun Kaya Motif dari Timor

Motif-motif yang melekat pada tenun ikat Nusa Tenggara Timur sarat makna, menggambarkan aktivitas masa lampau sebagai cerita tentang roda kehidupan. Selalu muncul motif buaya, mewakili mitos bahwa Pulau Timor ialah the sleeping crocodile."
ORPA Daepanie, 50,perempuan pene nun asal Kelurahan Karang Siri, Kecamatan Kota So'E, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, tidak ingin lakon kehidupan berlalu begitu saja tanpa terdokumentasi sempurna.

Ia mengumpulkan puluhan perempuan tua dan muda di wilayahnya untuk menekuni tenun dengan nama kelompok Nekmese. Sebab, dari lembaran-lembaran kain itu dia berupaya menceritakan kembali mitos-mitos yang hidup di masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di kabupaten tersebut setidaknya ada 300 motif tenun ikat, masing-masing memiliki cerita tersendiri. Orpa belum lama ini memamerkan empat motif, di antaranya, yang diberi nama motif nunkolo, ki'e, amanatun, dan molo.

Dia bercerita, di hampir seluruh motif tenunan itu selalu muncul bentuk buaya sebagai perwakilan dari mitos penting bahwa Pulau Timor dianggap sebagai pulau buaya yang sedang berbaring atau the sleeping crocodile.

Dikisahkan, di masa lampau pernah ada seorang anak menolong seekor buaya yang tersesat. Buaya itu menemukan jalan kembali ke laut setelah digendong sang anak. Akan tetapi sampai di laut, air laut naik. Karena nyawa anak terancam, buaya mengajaknya naik ke punggung.

Sebelum berpisah buaya berpesan, kelak ia mati akan mengapung di permukaan laut. Sang anak boleh tinggal di punggungnya yang akan ditumbuhi pohon-pohon yang buahnya boleh dimakan. Mitos ini diceritakan secara turuntemurun lewat motif tenun ikat maupun cerita orang tua kepada anak-anak. Di mulai dari membuat benang dari kapas, merekayasa motif, mencelup benang ke dalam zat pewarna yang biasanya dibuat dari bahan-bahan seperti kunyit, akar mengkudu, dan daun pepaya. Untuk menghasilkan warna yang mampu bertahan bertahun-tahun, proses pencelupan benang membutuhkan waktu satu atau dua bulan.

Di masa lalu, penenun bahkan menyiapkan benang selama berbulan-bulan. Cara ini menghasilkan tenun kualitas terbaik yang warnanya tidak pudar selama puluhan tahun. Selembar kain dengan metode buna yang tingkat kerumitannya tinggi diselesaikan selama tiga bulan dan dijual seharga Rp1,2 juta-Rp2 juta, sesuai ukuran.

Tenun yang menggunakan metode sotis diselesaikan dua bulan dan dijual seharga Rp750 ribu-Rp1 juta. Sementara yang dikerjakan secara futus diselesaikan dalam tempo 30 hari dan dijual Rp750 ribu. Pendapatan kelompok ini lumayan menyusul permintaan tenun yang terus meningkat. “Kami pasarkan tenun ikat sampai ke luar negeri,” katanya.

Wisatawan asal Amerika dan Eropa, kata Orpa, memuji kua litas tenun kelompok ini. Bahkan, sejumlah pembeli yang pernah mampir di Nekmese memesan lagi setelah kembali ke negara mereka. Wajib tenun Belakangan, untuk memacu pertumbuhan penenun, pemerintah NTT mewajibkan seluruh pegawai negeri mengenakan pakaian bermotif daerah setiap Kamis dan Jumat. Maka, pegawai wajib membeli tenun langsung ke penenun kemudian menjahitnya menjadi kemeja atau jas. Sebab, memang tujuannya, kain yang dihasilkan penenun lokal bisa terjual.

Gubernur Frans Lebu Raya mengatakan, kebijakan itu bertujuan membantu penenun untuk terus berkembang.
Penenun juga didorong untuk mengikuti berbagai pameran di berbagai kota, bahkan sampai ke Australia lewat Expo Darwin yang digelar setiap Juni.

Orpa pun kini membeli mesin tenun yang bisa menghasilkan lima lembar kain dan puluhan selendang dalam sepekan. Katanya, untuk tetap bisa bersaing di pasar. Dari mesin tersebut, produk yang dihasilkan pun bermacam-macam, antara lain sarung, taplak meja, seprai, tas, dan sarung bantal. Untuk produk jenis ini, harganya lebih murah, yakni mulai Rp50 ribu-Rp500 ribu.

Orpa punya kiat untuk pencinta tenun ATBM saat membedakan produk yang dihasilkan dengan mesin. Caranya cukup sentuh permukaan sarung. Jika terasa licin, itu pertanda produk tersebut ditenun menggunakan mesin. Sebaliknya, jika kasar, itu produk hasil tenunan ATBM. Palce Amalo

Sabtu, 29 Januari 2011

Musim Jagung di Kampung Uel

PULUHAN rumah beratap daun lontar berderet rapi di tanah yang becek. Arsitektur bangunan sederhana dengan dinding papan dan lantai tanah, terlihat seragam. Ruang depan, ruang makan dan dua kamar tidur, sedangkan dapur dibangun terpisah di belakang bangunan utama.

Yang membedakannya hanyalah penghuninya berasal dari Suku Rote, Timor, Alor, Sabu dan Flores. Mereka hidup rukun dan jarang terlibat konflik. Tidak ada perbedaan mencolok soal ukuran rumah, dan jenis tanaman yang dibudidayakan di kebun.

Halaman rumah itulah kebun warga. Dipagari dengan kemudian ditanami jagung. " Di kampung ini, semua orang menanam jagung dan padi," tutur Adolf Ratu, Ketua Kelompok Tani setempat. Ketika Media Indonesia tiba di Uel, Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, sekitar 60 kilometer arah timur Kota Kupang, warga sedang memanen jagung.

Sebenarnya penduduk Uel yang berjumlah sekitar 1.600 orang adalah tercatat sebagai orang miskin dengan tingkat pendapatan kurang dari Rp5.000 per hari. Kekeringan di daerah itu berlangsung selama delapan bulan, sehingga praktis warga selalau gagal tanam dan panen.

Tetapi sejak diperkenalkan dengan program jagung dengan teknik teknologi Rainwater Harvesting, Uel kini menjadi penghasil jagung terbesar di daerah itu. Produksi jagungnya mencapai 20.000 ton per tahun. Jagung dipasarkan ke luar daerah setelah diolah menjadi 40 jenis produk bernilai ekonomis antara lain  perkedel jagung, tepung jagung, dan pakan ternak burung, serta bubur jagung yang mulai diperkenalkan.

Bahkan, warga kini mulai menolak menerima beras raskin. Beras yang disalurkan pemerintah khusus untuk penduduk miskin dengan harga Rp1.000/kilogram, sudah dua tahun ini tidak lagi terlihat di Uel. Progam Rainwater Harvesting diperkenalkan oleh Zet Malelak, dosen Fakultas Pertanian Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Ia telah berkarir di Uel sejak 1999 setelah bersama isterinya Pendeta Adriana Tanggela datang ke sana. Mereka menyaksikan kesulitan warga memenuhi pangan, dan sejumlah anak meninggal akibat gizi buruk.

Sang dosen bersama isterinya kemudian menetap di sana. Programnya dimulai dengan menggali lubang di depan rumah penduduk untuk menampung air hujan. Kemudian bersama warga menutup dua aliran sungai kering di daerah itu agar bisa menampung air pada musim hujan. Hasilnya, air hujan yang masuk ke lubang, meresap ke tanah. "Tidak ada air terbuang sia-sia ke laut," katanya.

Pendapatan warga dari menjual produk jagung dimanfaatkan untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Pendapatan per kapita warga sekitar Rp6 juta per tahun. Pada 1999 pendapatan mereka hanya Rp1,4 juta  per tahun. Sampai Maret 2009 sudah ada dua sarjana pertanian dan puluhan tenaga medis yang berasal dari desa itu.  

Zet bersama warga berharap pemerintah perlu mencontoh program pengentasan penduduk miskin tersebut untuk diterapkan di daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Dinilai lebih mengena persoalan kemiskinan daripada mengucurkan miliaran rupiah untuk program yang sama, tetapi angka orang miskin dan busung lapar tetap bertambah. Kini, bilang musim jagung tiba, pedagang dari Kupang dan sekitarnya membeli jagung ke Uel kemudian menjual kembali di pasar tradisional. Palce Amalo

Rabu, 13 Oktober 2010

Danau Kelimutu

KEAJAIBAN WARNA DARI ENDE

Saat kabut terangkat, keindahan Danau Kelimutu pun tersingkap. Satu dari sekian banyak tempat yang harus Anda datangi sebelum ajal menjelang. Pagi belum lagi sempurna.Kabut tebal masih menyelimuti kaki pendakian Danau Kelimutu. Tiga danau yang menjadi buah bibir wisatawan belum juga tampak.

Kami menunggu di puncak pendakian, sambil menyeruput secangkir kopi yang di jual di atas oleh Avelinus, salah satu penduduk asli Suku Lio yang ada di kawasan Kelimutu. Dia sengaja datang membawa termos, keranjang gelas, sendok, gula, kopi dan teh, serta beberapa potong kain untuk dijual pada wisatawan. Di puncak pengamatan Danau Kelimutu, hanya dialah yang berjualan. Tiga jam menunggu dari pukul 07.00 Wita hingga sekitar 10.00 Wita, akhirnya tirai kabut Kelimutu tersibak.

Teriakan pengunjung yang jumlahnya tak lebih dari 15 orang langsung terdengar. “Lihat, lihat.” Dua danau berwarna hijau tosca dan hijau tua terpampang di depan mata. Sebelumnya, danau hitam lebih dulu terlihat di sisi lain tempat kami berdiri. Tak ada kata yang bisa dengan tepat menggambarkan momen saat itu. Barangkali yang mendekati ialah kata takjub! Tiga danau berbeda warna terlihat tenang, dibentengi dinding batu dan di kejauhan terhampar hutan yang masih hijau. Suara burung sesekali masih terdengar, udara sejuk, dan angin kencang membelai serta mengibarkan rambut, jaket, dan busana.

Danau tiga warna Kelimutu terletak di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Ajaib sekaligus menyimpan misteri. Warna air danau berubahubah seiring perjalanan zaman. Semula pergantian warna air dilaporkan Van Suchtelen, warga Belanda yang datang ke Kelimutu pada 1915. Kelimutu aktif memamerkan misteri alamnya selama 2002-2006. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat 17 kali pergantian warna pascaperubahan terakhir pada 13-21 Mei 1997.

Selama delapan hari, Danau Atapolo berwarna merah hati kemudian berganti warna ke hijau lumut. Danau ini dipercaya masyarakat setempat sebagai tempat arwah-arwah jahat. Sementara itu, danau Nua Muri Koo Fai berwarna hijau tosca (kampung arwah mudamudi) berganti dari hijau terang ke hijau tosca. Terakhir Danau Ata Mbupu berwarna hitam--sebelumnya cokelat tua--dipercaya masyarakat sebagai kampung arwah para tetua bijaksana.

Kepala Tanam Nasional Kelimutu Gatot Subiantoro mengatakan, sesuai penelitian LIPI, kandungan mineral dalam danau membuat pantulan ketiga danau bervariasi. Perubahan itu dipengaruhi pembiasan matahari, kadar garam besi, dan sulfat. Juga ada pengaruh mikroba air serta aktivitas vulkanik. Gatot menjelaskan, awalnya Kelimutu (1.640 meter di atas permukaan laut) merupakan gunung api aktif. Gunung ini meletus terakhir pada 1886 dan meninggalkan tiga kawah berbentuk danau. Ketika itu, tiga kawah memiliki warna air berlainan, yaitu merah, biru, dan putih.

Pada 3 Juni 1968, terjadi letusan dalam danau hijau muda. Gejalanya didahului suara mendesis, disusul semburan air cokelat kehitaman mencapai ketinggian 10 meter. Itu adalah aktivitas vulkanik ke-12 kalinya sejak 1830. Menurut Gatot, danau hijau muda masih aktif sampai sekarang.

Warga setempat, seperti disampaikan Gatot, mengatakan warna air Kelimutu berubah-ubah selama ratusan tahun. Hanya, saat ini dua danau yang berdampingan di bagian timur, yaitu Nua Muri Koo Fai dan Ata Mbupu dikhawatirkan lenyap. Pasalnya, dinding pemisahnya makin menipis, diduga akibat peristiwa vulkanik. “Dulu, masyarakat bisa berjalan melewati dinding pemisah itu. Tapi, sekarang sudah menipis sehingga tidak bisa dilewati lagi,” papar Gatot.

Wisata andalan Keajaiban dan misteri keindahan Kelimutu membuat danau ini terus dibanjiri wisatawan lokal dan mancanegara. Kelimutu bukan hanya obyek wisata andalan Nusa Tenggara Timur, tetapi menjadi satu-satunya objek danau tiga warna di dunia. Kelimutu terletak di Desa Koanara, Kecamatan Wolowaru, sekitar 66 kilometer arah utara Ende, ibu kota Ende.

Jika perjalanan dilakukan dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, sejauh 83 kilometer. Tidak sulit mencapai Kelimutu. Dari Maumere, perjalanan sekitar 3-4 jam, sewa mobil termurah sekitar Rp800 ribu. Pengunjung disarankan berangkat pada pukul 03.00 atau 04.00 Wita, hingga bisa tiba di Kelimutu sekitar pukul 06.00-08.00 Wita.

Pada jam itu merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pendakian. Tidak perlu khawatir karena jalan menuju puncak pengamatan Kelimutu tidaklah berat, sudah ada tangga-tangga dari semen. Waktu tempuh menuju puncak sekitar satu jam, tentu jika dilakukan tanpa henti. Datang ke Kelimutu memang disarankan pagi hari. Saat Media Indonesia berkunjung April lalu, kabut baru terbuka pada pukul 10.00 WIT. Siang menjelang sore, kabut sudah datang lagi menutupi keindahan tiga danau tersebut.

Flora dan fauna Taman Nasional Kelimutu--tempat Danau Kelimutu berada--menyimpan potensi fl ora dan fauna yang dikenal langka. Ada 19 jenis burung yang terancam punah, seperti tesia timor (Tesia everetti), sepah kerdil (Pericrocotus lansbergei), kehicap flores (Monarcha sacerdotum), punai flores (Treron floris). Sementara itu, mamalia endemik seperti landak (Hystrix brachyura brachyura), kancil (Tragulus javanicus javanicus), dan luwak (Pardofelis marmorata). Kekayaan alam tersebut dilindungi setelah ditetapkan menjadi taman nasional pada 26 Februari 1992. Kawasan taman nasional seluas 5.356,5 hektare ini meliputi tiga kecamatan, yaitu Detusoko, Wolowaru, dan Ndona. palce amalo

Jumat, 23 April 2010

Maut Mengancam Sang Buah Hati

DI ruangan berdinding papan, tanpa sekat, Maria Oetpah, balita berusia 10 hari itu, tergolek lemas di tempat tidur. Sebaliknya, ibunya, Wandri Oetpah, 30, tak mampu menyembunyikan sedihnya. Wajah wanita itu pucat, menandakan ia kurang tidur semalam. "Dua malam ini, anak saya terus menangis," katanya.

Ketika warga Kampung Kensulat, Kelurahan Kefa Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, ditemui wartawan, air matanya pun tumpah. Wandri pantas bersedih. Pasalnya, sang buah hati menderita penyakit aneh. Usus balita yang lahir tanggal 2 Januari 2008 itu terburai di luar perut. Tiap hari usus balita itu membesar seiring pertumbuhannya. Jika awalnya usus menyerupai gumpalan kecil berwarna kuning, kini, sebesar kepalan tangan orang dewasa.

Tiap malam, Wandri dan anaknya, berbaring di tempat tidur kayu beralaskan tikar. Sedangkan, suaminya, Yulius Bili Bali, 35, tidur di tempat berbeda. Mereka menempati rumah ukuran 4 x 5 meter, sejak satu tahun terakhir. Keadaan Maria kian memprihatinkan. Dari tengah gumpalan usus itu, menetes cairan berwarna putih. "Jika cairan terus mengalir, ia manangis, dan saya sangat terbeban dan sedih," katanya.

Maria pernah dirawat selama dua hari di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kefamenanu, ibu kota Timor Tengah Utara, tetapi dokter kemudian menyarankan membawanya dioperasi di rumah sakit di Surabaya, karena peralatan rumah sakit di NTT masih kurang untuk menangani penyakit tersebut. Mendengar penjelasan dokter, Wandri bagai tersambar petir, sebabnya, pendapatan suaminya sebagai buruh bangunan, tidak sampai Rp500 ribu dalam sebulan. Sedangkan ia tidak punya penghasilan.

Meskipun, memiliki uang sebesar Rp1 juta, tidak ada artinya karena ongkos angkutan ke Kupang saja, sebesar Rp100 ribu per orang, belum termasuk uang makan, dan penginapan. Kami tidak mampu, apalagi biaya operasi mencapai puluhan juta rupiah. Tanpa pikir panjang sambil mengemasi pakaian ke dalam tas, Wandri membawa pulang anaknya ke rumah.

Direktur RSUD Kefamenanu Dokter Hartono mengatakan, usus terburai terjadi akibat perkembangan organ bayi tidak sempurna selama di kandungan. Otot perut tidak terbentuk sempurna sehingga organ dalam tubuh menonjol ke permukaan kulit. Jenis penyakit itu dapat disembuhkan melalui operasi. Kemudian usus dimasukan kembali ke dalam perut.

"Hanya tentu butuh dokter spesialis," katanya. Perkembangan organ tidak sempurna diakibatkan banyak faktor seperti ibu sang bayi tidak mengonsumsi makanan bergizi selama mengandung. Kesulitan uang memaksa pasangan ini urung membawa sang buah hati menjalani operasi.

Sementara itu, keputusasaan mulai muncul. Orang tua Wandri, Yoseph Oetpah, 50, mengaku tidak kuat menanggung beban. “Saya berdoa kepada Tuhan semoga cucu saya dapat dioperasi di rumah sakit melalui tangan orang-orang bermurah hati,” tuturnya.

Karena untuk kebutuhan sehari-hari saja, terutama makan, pasangan ini masih jauh dari cukup. Nun jauh di Kampung Kensulat, di kaki bukit berhawa dingin, sekitar dua kilometer arah barat Kefamenanu, puluhan tetangga berdatangan ke rumah keluarga miskin ini.

Tidak ada susu di meja, telur atau daging. Sebuah kotak bekas susu balita tergeletak di ujung ruangan berlantai tanah itu. Ketika para tetangga berdatangan memenuhi ruangan untuk menjengguk, Wandri tiba-tiba terdiam. Air matanya menetes lagi. Ia terharu karena ternyata banyak orang bersimpati terhadapnya. Hanya sepenggal kalimat terucap "Kami mau ambil uang dari mana?.". Palce Amalo

Rabu, 24 Maret 2010

Bingkai Amatir dari Lamalera-Boti


DALAM dekapan pagi, Goris Bona Beding menenteng kamera dan langsung bergegas menuju pantai.

Pemuda Desa Lamalera, Lembata, NTT, ini sedang berusaha menyusul perahu-perahu yang sudah berangkat memburu paus. Momentum yang tidak ingin disia-siakan, bahkan oleh Goris yang tidak berbekal lensa lengkap dan sekadar mengenal teknik memotret amatiran.

Setidaknya enam bulan lalu dia sudah ikut kelas foto tiga hari bersama Photovoices Indonesia. Dari situlah ia menjadi tertarik untuk lebih sering membidikkan lensa serta berminat mendokumentasikan hal-hal lokal buat dipamerkan di Museum Daerah NTT bersama karya 89 juru foto pemula lainnya.

Deretan foto Goris dalam pameran November ini adalah runutan peristiwa yang membuat Photovoices Indonesia terpukau, juga terprovokasi. Dari jepretannya, seakan bisa disusun kembali sebuah momen ironis ketika paus tertancap tombak, berlumuran darah lalu digiring ke pantai, dan saat warga memotong-motong dagingnya dengan kapak. Karya-karya semacam ini, menurut Saraswati--koordinator Photovoices Indonesia--akan segera dibahas bersama pemerintah. Antara lain, mengenai kisah di balik foto-foto ini.

"Barangkali perburuan paus adalah potret Lamalera sesungguhnya," komentarnya terhadap foto Goris. Sebab, sekadar tahu saja, menurut kalender sudah menjadi kebiasaan bahwa sekitar Mei sampai Oktober warga Desa Lamalera menghabiskan hari-hari berburu paus. Aktivitas tersebut dianggap tradisi. Sedangkan di luar itu, tidak ada pekerjaan pokok lain yang mereka tekuni. "Jika masyarakat tetap konsentrasi ke paus saja, itu tidak menjamin keseimbangan alam," kata Saraswati.

Itu alasan mengapa pihaknya ingin supaya masyarakat lokal yang mendokumentasikan sendiri nilai-nilai mereka terhadap alam, budaya, dan kehidupan desa. Kemudian mereka mencatat kekuatan dan keprihatinan masyarakat.

Sebagaimana dikisahkan Goris, perburuan paus yang ia abadikan sesungguhnya penuh risiko. Cukup satu kesalahan, ganjarannya maut. Menangkap paus, imbuh Goris, melibatkan keahlian dan keberanian dari si penombak. Sebab, hanya karena satu kebasan ekor, ia bisa terluka fatal.
Perburuan ini sering berujung celaka karena biasanya paus menarik perahu ke tengah laut, "Seperti tercatat dalam sejarah masyarakat Lamalera, sebuah perahu penangkap ditarik paus sampai dua minggu sebelum akhirnya para awak diselamatkan dalam kondisi lemas dan kehabisan makanan."
Toh, perburuan ini masih langgeng sampai sekarang. Penikmatnya tak cuma warga, tetapi juga sejumlah turis lokal dan mancanegara.

Selain menampilkan perburuan paus, para juru foto pemula ini juga memotret aktivitas suku Boti, sebuah masyarakat terasing di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Foto-foto ibarat manuver yang ingin diciptakan komunitas foto untuk memberdayakan masyarakat. Tujuannya supaya mereka mulai memanfaatkan informasi visual untuk memengaruhi keputusan pemerintah.(Palce Amalo)

Sabtu, 20 Maret 2010

Kemiskinan pun Dijadikan Tameng


AIR matanya tak henti-henti mengalir. Sesekali ia palingkan wajah ke ibunya, Belandina Talan, yang duduk di kursi plastik dekat tempat tidurnya. Tak urung, wanita berusia 45 tahun itu pun turut menangis.

Adalah Viktoria Usnaat, 18, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Desa Bokon, Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, yang siang itu tergolek lunglai di tempat tidur, di salah satu ruangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kefamenanu, Timor Tengah Utara.

Berniat ingin mengumpulkan uang untuk dikirimkan kepada orang tua dan lima saudaranya di kampung, gadis berkulit cokelat kopi itu justru harus menanggung rasa sakit tak berkesudahan akibat mendapat penyiksaan dari majikannya selama bekerja di Malaysia.

Meski berbagai macam siksaan telah dideritanya, mulai dari disiram cairan pemutih pakaian hingga jari tangannya diseterika, niatnya untuk 'membanting tulang' guna turut membahagiakan keluarga tidak surut. "Saya jadi TKI karena ingin mengumpulkan uang untuk memperbaiki rumah di kampung," ujarnya kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Namun suratan takdir menggariskan berbeda. Bukannya membawa segepok uang setelah mengadu nasib di negeri jiran selama 15 bulan, Viktoria pulang hanya mengantongi uang Rp100 ribu dan sejumlah pakaian dalam tasnya. "Saya dipukuli kemudian dipulangkan, tanpa dibayar, ke penyalur tenaga kerja di Malaysia," tuturnya.

Namun memang tidak semua TKI yang bekerja di luar negeri mengalami nasib tragis seperti Viktoria. Paulina Toan, 22, perempuan asal Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, justru mengaku bisa membawa pulang uang tunai Rp18 juta setelah bekerja selama dua tahun di Malaysia. "Saya tidak pernah disiksa. Bahkan, saya akan kembali lagi ke Malaysia dalam waktu dekat," ujarnya kepada Media Indonesia. Dengan uang hasil jerih payahnya itulah, perempuan jebolan sekolah menengah kejuruan itu mengaku telah membangun rumah ukuran 6x9 meter persegi dan membeli tiga ekor sapi.

Dijual Rp800 ribu

Perbedaan nasib kedua pekerja migran itu toh tidak bisa ditebak. Itu sebabnya, animo berangkat ke luar negeri, tetap tinggi. Dinas tenaga kerja (disnaker) setempat bahkan memperkirakan, per minggu ada sedikitnya 1.000 TKI ilegal menyeberang ke negeri tetangga. "Umumnya mereka menggunakan jasa penyeberangan laut," ujar Kepala Disnaker NTT Ignatius Conterius, beberapa waktu lalu.

Tingginya jumlah pemberangkatan TKI ilegal itu, menurutnya, disebabkan maraknya calo yang beredar di desa-desa untuk membujuk warga berusia produktif bekerja ke luar negeri. Dengan iming-iming mulai dari gaji jutaan rupiah hingga membebaskan orang tua dari jeratan kemiskinan, para muda-mudi di NTT pun sering kali tergiur.

Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) NTT bahkan menemukan fakta bahwa keberadaan para tenaga kerja itu dihargai antara Rp500 ribu hingga Rp800 ribu per kepala. Layaknya jual beli barang, pembeli, yakni para PJTKI bahkan boleh melakukan penawaran. Jika tidak sepakat, transaksi pun bisa gagal.

Modusnya, setelah mendapat calon TKI, para calo membawa mereka ke ibu kota, Kupang, dan menawarkan ke PJTKI. Menurut Kepala Apjati NTT Paul Lyanto, PJTKI berlomba-lomba merekrut tenaga kerja ke Malaysia karena pemerintah tidak sanggup menyediakan lapangan kerja bagi warganya. Pemerintah provinsi, katanya, sudah saatnya menggenjot pembangunan pertanian. "Dengan begitu, warga tidak perlu lagi berbondong-bondong mencari pekerjaan di luar negeri." (Palce Amalo)

Jumat, 19 Maret 2010

Wisata Penuh Kejutan Dari Ndana



SEPERTI menyaksikan aksi binatang liar di film-film dokumenter. Sekelompok rusa lari melintasi sabana menuju rerimbunan pohon rindang kemudian menghilang.

Itu baru kejutan pertama kepada para pelancong yang mampir ke Pulau Ndana. Pulau terluar di selatan negeri ini ternyata menyimpan potensi wisata yang luar biasa. Keragaman potensinya bisa dikembangkan jadi ekoturisme yang digabung dengan konsep konservasi dan pertahanan nasional.

Ndana terletak di selatan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, adalah satu dari empat pulau terdepan di daerah itu. Bagi penikmat wisata berpetualang di alam nan asli, Ndana mungkin jadi pilihan. Lokasinya terpencil di bibir lautan Hindia, atau hanya 77 mill dari gugusan Karang Ashmore milik Australia. Sebenarnya keterpencilan Ndana bukan masalah karena pulau seluas 1.562 hektare itu sudah ditempati anggota pasukan marinir sejak Oktober 2006. Saban hari, nelayan dari selatan Rote hilir-mudik menangkap ikan di perairannya. Lantaran letaknya strategis, banyak biota laut berkumpul di sana.

Catatan Dinas Pariwisata Kabupaten Rote Ndao menyebutkan perairan itu menjadi lokasi persembunyian ikan hiu terutama pada musim barat. Beragam jenis ikan hias, ikan paus dan cakalang banyak ditemukan di sana, termasuk lola dan teripang yang sering menjadi pemburuan nelayan. Bila beruntung datang di bulan purnama, pelancong bisa menyaksikan ratusan penyu bertelur di pasir seperti penyu sisik ((Eretmochelys imbricata). Ini bakal menjadikan perjalanan wisata penuh makna. Tak kalah keasrian ekosistim terumbu karangnya yang menjadi surga bagi biota laut.

Kicauan burung menjelang pagi sudah biasa di sejumlah obyek wisata alam. Hanya saja, habitat burung di Ndana termasuk kelompok yang langka seperti betet timor (Apromictus jonguilaceus) yang mulai jarang ditemui di kawasan hutan Pulau Timor. Beberapa yang dikenal langka ialah perkutut (Geopelia striata), koakiu (Phylemon inonartus), bangau putih (Egretta sacra), bangau hitam (Ciconia episcopus), elang (Elanus sp), dan dara laut (Sterna sp).

Tak hanya burung langka. Pada musim tertentu, pelancong bisa menyaksikan ribuan burung bermigrasi ke Selandia Baru, Afrika maupun ke lautan Hindia. Seperti biasa, burung-burung ini menjadikan Karang Heliana tak jauh dari Ndana sebagai tempat transit selama berhari-hari. Keragaman potensi dan kejutan itu membuktikan bahwa kawasan pulau terluar cocok dikembangkan sebagai tujuan wisata di masa depan. Pasalnya, pengelolaan pulau terluar mutlak dilakukan untuk menghindari klaim bangsa asing.

Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Nusa Tenggara Timur mencatat Ndana kaya terhadap beragam flora seperti lontar (Borrasus flobelifer), kesambi (Schleisera oleosa), dan asam (Tamarindus indica). Kawasan pantainya berpasir putih dan beragam jenis mangrov antara lain Rhizophora sp, Bruguiera gymnoriza dan Aviecenia sp.

Adapun potensi wisata lainnya seperti wisata sejarah yang akan menyajikan kejutan berbeda. Di tengah pulau itu ada danau yang airnya berwarna merah sepanjang musim. Benteng peninggalan etnis Ndana berupa pagar batu, sumur tua, kursi dan meja batu, dan gua-gua yang bertuliskan nama-nama pengunjung, dibuni kelelawar. Padangnya sangat luas dihiasi beragam jenis rumput dan pepohonan yang tumbuh jarang merupakan lokasi berkembangbiak rusa timor.

Tak heran, dengan bentangan alam dan satwa sebagai kekuatan wisatanya, Ndana sangat cocok untuk gemar olahraga alam, seperti tracking, hiking, dan hunting. Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan III Bappeda NTT Dany Suhadi mengakui pihaknya tengah mengodok desain pengelolaan tata ruang Ndana melibatkan berbagai instansi antara lain pariwisata dan dinas kehutanan. "Perencanaannya masuk dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir,; katanya.

Jika menuju Ndana melalui Kupang, dibutuhkan waktu 1,5 jam berlayar dengan kapal cepat. Tiba di pelabuhan Ba'a, ibu kota Kabupaten Rote Ndao, anda bisa memanfaatkan kendaraan umum ataupun sewaan yang dapat mengantar ke ujung selatan pulau Rote, sekitar 30 kilometer. Dari sana, bisa menyewa perahu motor milik nelayan dengan lama pelayaran dua jam. Kesan, petualangan dimulai ketika melintasi selat yang memisahkan Rote dan Ndana. Ombak yang bergulung-gulung menghempaskan perahu berkali-kali. Menurut Dany, diving and snorkeling bisa digelar di sana. Hanya butuh perhatian serius pemerintah mengelola semua potensi yang ada. Palce Amalo